Selasa, 17 November 2015

# Short Story

Nelangsa



Lewat kaca jendela aku lihat matahari mulai terik. Aku penasaran. Ingin rasanya aku berjemur keluar dan main sepuasku. Biar saja badanku panas, toh aku putih. Toh aku bisa tidur di kamar belakang yang berAC. Sayangnya, pintu rumah masih terkunci. 

Setiap hari aku berlatih meloncat yang tinggi, supaya bisa kupenggang ganggang pintu rumah. Sekali lagi aku harus menahan kecewa, karena aku belum berhasil juga mencapainya. Sebenarnya semenjak Abi memindahkan meja makan ke dekat jendela, aku terbantu untuk meloncat lebih tinggi lagi. Namun, lagi lagi aku harus menyebut "tapi", ya, tapi aku belum berhasil juga.

Kadang aku bosan main di dalam rumah. Apalagi kalau sedang sendirian. Kalau Abi dan Bunda sedang bekerja, aku jadi ingin minggat. Sampai-sampai kutunggui pintu rumah beberapa jam sebelum Abi dan Bunda biasanya pulang. Kalau pintu terbuka dari luar sedikit saja, aku akan segera lari keluar. "Please, main sebentar saja di luar!"

Aku tahu mereka cuma kawatir. Mereka takut aku diculik atau lupa waktu sampai lupa jalan pulang. Tetapi, mereka tidak tahu aku sungguh bosan. Kecuali saat mereka bermain denganku. Meskipun godaan main keluar rumah dan tidak kembali, sesekali masih terlintas saat bermain dengan mereka.


Terkadang Abi dan Bunda ribut. Entah apa masalahnya. Aku masih terlalu kecil untuk tahu. Aku masih terlalu dini untuk mengerti. Dan kalau sudah begitu, aku akan melihat Bunda menangis sembari mengajak ngobrol aku, seolah aku bisa menanggapi, alih-alih aku cuma bisa melototi karena mataku bulat dan belo. Sudah kubilang, aku tidak mengerti apa yang diributkan. Bukan aku tak peduli. Aku sayang mereka kok.

Bunda menangis sampai matanya bengkak. Kadang aku kasihan sekali. Tapi kadang aku juga heran, kenapa Bunda begitu kuat menangis begitu lama. Tidakkah ia takut air matanya habis dan suatu hari tidak bisa menangis lagi??? Orang dewasa memang susah dimengerti. 

Kalau bunda menangis, biasanya Abi sedang marah atau tak acuh. Aku rasa Abi juga agak keras kepala. Aku pun tidak tahu harus berpihak kepada siapa. Aku sayang mereka berdua. Meskipun Abi lebih sering main denganku, aku suka Bunda ketika dia mampu memahamiku saat aku lapar atau haus tapi dengan bodohnya kutumpahkan air minumku, dan Abi bilang "kalau haus dia gak numpahin minumnya". Bunda selalu menyahut "dia gak niat numpahin air minumnya, dia gak paham kalo tempat minumnya jatuh airnya jadi tumpah."

Terkadang, aku ingin lebih dekat dengan Bunda. Tapi Bunda kurang bisa memahamiku saat aku main. Mungkin aku seperti anak nakal, karena berlarian kesana kemari dan terkadang dengan sengaja menubruk-nubrukan badanku pada Abi atau perabot rumah. Kalau sudah begitu, dengan nada melengking Bunda akan bilang "Pepoo!! Mainnya pelan-pelan. Jangan kasar. Ntar kepalanya pecah!!!"

Abi lah yang mengurusku lebih banyak. Abi yang buang eek-ku. Abi yang membersihkan badanku ketika belepotan debu karena main petak umpet di bawah kasur. Abi yang bersihkan belek-ku. Abi yang gak jijian ketika badanku bau. Bunda??? Bunda sering "oekk..oekk" mau muntah kalau cium sedikit saja bau eek atau pipis-ku. Tapi aku tak menyalahkan Bunda. Aku memakluminya. Hidungnya pesek seperti aku, jadi aliran udara tidak lancar keluar masuknya. Wajar kalau dia jadi ingin muntah. Karena, aku pun begitu. Aku pun tak tahan dengan bau badanku sendiri.

Suatu hari aku dengar Abi ingin meyerahkanku kepada orang lain. Aku kecewa berat. Aku sedih. Aku tidak mengerti. Sepertinya aku tidak pernah berbuat macam-macam kepada mereka, kecuali sesekali aku suka menggigit tangan Abi dengan manja, lalu Abi menahan jerit sembari bilang "Auuu!!! Pepoo sakit!!" Aku tak bermaksud menyakiti. Aku cuma main-main. Sumpah!

Mereka memutuskan untuk mengadopsiku, kenapa sekarang mereka ingin menyerahkanku ke orang lain. Sulitkah aku untuk disayangi??

Belakangan ini aku jadi murung. Tanda-tanda kesegeraan aku akan diasuh orang lain seperti sudah di depan mata. Abi pun mulai berkurang menyempatkan diri main denganku. Terkadang aku menangis tanpa mereka tahu. dan esokkannya Bunda merasa bersalah ketika melihat belek dan air mataku banyak sekali. Bunda bilang, "jangan-jangan Pepo ngerti apa yang kita omongin Bi... Terus dia jadi nangis begini???"

Belakangan hari ini ada yang terasa tak nyaman di badanku. Aku tak tahu apa. Aku masih sedih dengan keputusan Abi dan Bunda yang akan menyerahkan aku ke orang lain. Rasanya aku kesepian. 

Suatu hari aku terbangun karena tiba-tiba Abi memegang tubuhku dan berkata, "Sayang... pepo kayaknya sakit nih. Soalnya dia numben diem aja. Mukanya juga kayak sedih gitu." Bunda pun menyahut, "Pepo sakit apa Bi? Sedih atau sakit?" Kemudian aku dijungkirkan hati-hati oleh Abi. Entah kenapa Abi ingin lihat pantatku. Aku merasa tak nyaman jadi aku pun menggeliat-liat. Abi lantas bilang, "Pepo kenapa nih..liat sini deh Bunda! Ini jamur apa luka". Bunda dengan muka khawatir berkata, "itu jamur."

Abi dan Bunda segera membawaku ke dokter. Dan di sana aku disuntik. Menyebalkan! Aku tidak lantas jadi mengantuk tapi rasanya badanku tak berenergi sehingga aku pun tak bisa berkenalan dengan si cantik dekat pintu.

Dokter memeriksaku dengan seksama. Aku lagi-lagi harus sedih karena benar, aku terkena jamur. Betapa malang nasibku ini. Sudah jatuh tertimpa tangga. Aku merasa merana. Nelangsa!

Sekitar lima hari aku dirawat opname. Dokter bilang aku mendingan, Abi pun menjemputku pulang. Tapi aku rasa aku tidak tahu lagi yang namanya pulang. Karena yang kutahu pulang adalah kembali ke rumah. Kembali kepada mereka yang menyayangiku. 

Pertama, Abi tidak membawaku ke tempat sebagaimana aku kenal sebagai rumahku. Kedua, di tempat baru banyak muka asing yang entah mereka menyayangiku atau tidak. Aku sungguh terpuruk. Tuhan tolong aku.

Tak lama berselang sungguhlah Abi menjalankan niatnya. Aku diserahkan kepada seseorang. Aku bingung. Aku tak bisa bicara. Menjerit dalam hati pun sulit. Malam sebelumnya, sembari menangis Bunda bilang, "Pepo...maafin Bunda dan Abi ya. Terutama Bunda. Sikonnya ga memungkinkan. Tolong maafin Bunda ya sayang..."

Aku tak dendam kepada mereka. Aku pasti akan baik-baik saja. Aku kuat dan perkasa. Tapi jujur, aku sungguh merasa nelangsa.









*didedikasikan khusus untuk Pepona. Kucingku tersayang

2 komentar:

  1. Ya ampun... mau sedih tapi ini ceritanya bagus. *dikeplak mbak Lia*

    BalasHapus
  2. Padahal niatnya bikin yg baca mewek, malah ngakak ya mbak? LOL :))

    BalasHapus