Selasa, 15 November 2016

# Movie Review

A Girl Like Her - Movie Review


Sudah lama saya nggak ngreview film. Jadi pengen kasih ulasan mengenai film yang beberapa minggu lalu saya tonton di Netflix ini. Well, sebelumnya saya minta maaf kalau gak bisa mereview seluruh film atau serial yang saya tonton. Karena keterbatasan kemampuan otak yang masih butuh diasah, saya baru bisa mereview film atau serial yang sekiranya sangat berkesan dan terus mengiang-ngiangi saja

A Girl Like Her tayang pertama kali tahun 2015 garapan sutradara Amy S. Weber. Film ini mengisahkan seorang anak perempuan bernama Jessica (Lexi Ainsworth) yang memutuskan menelan banyak pil untuk mengakhiri hidupnya. Selama  Jessica dalam keadaan koma di rumah sakit, keluarga dan sahabatnya berusaha mencari tahu alasan Jessica ingin bunuh diri.


Aksi bunuh diri Jessica dengan cepat terdengar ke seluruh teman dan guru di sekolah. Beberapa orang menduga aksi Jessica tersebut dipicu oleh ulah Avery Keller (Hunter King) yang sering mengganggunya. 

Dalam film ditunjukan sosok Avery sebagai everybody's dream girl yang cantik dan populer. Avery menyangkal gosip tak sedap yang menuduh dirinya sebagai penyebab aksi bunuh diri Jessica. Ia merasa tidak ada yang salah atas tindakannya.

Sangkalan Avery membuatnya berhasil dibujuk untuk membuat video pribadi mengenai dirinya sebagai anak yang populer di sekolah. Melalui video tersebut, kita seperti diarahkan melihat sudut pandang Avery yang digambarkan mewakili anak-anak populer lainnya. Melalui video tersebut pula Avery menunjukan kehidupan keluarganya yang kacau karena dominasi sang Ibu dan sikap cuek sang Ayah yang lebih sering memilih diam.

Tunduhan bullying semakin menguat ketika Brian (Jimmy Bennett) memberikan rekaman video kehidupan sehari-hari Jessica yang selama ini ia rahasiakan. Rekaman video tersebut berasal dari video recorder berbentuk capung yang bisa disematkan layaknya pin. Dalam rekaman video itu ditunjukan betapa Jessica sering mendapatkan perlakuan dan serangan verbal yang tidak menyenangkan dari Avery.

Menurut hasil browsing saya, film ini dikatakan dibuat berdasarkan jutaan kisah nyata. Saya setuju. Melalui film ini sutradara seolah ingin menunjukan bagaimana seorang pembully terlahir, apa yang melatarbelakanginya, dan bagaimana korban bully kewalahan menghadapinya hingga bisa berakhir pada depresi dan keinginan mengakhiri hidup.

Dalam sudut pandang Avery, ia merasa tak melakukan hal yang salah yang membuat kawannya, Jessica, sampai ingin bunuh diri. Awalnya saya heran kenapa eh kenapa Avery begitu kekeh merasa tidak melakukan kesalahan, namun setelah saya melihat video kehidupan sehari-harinya di rumah dan di sekolah sebagai anak yang populer saya pun mulai memahaminya. 

Avery digambarkan sebagai anak perempuan yang cantik, populer, pemimpin geng, bossy dan arogan. Namun Avery tidak menyadari sifat dan sikap buruknya hingga akhirnya ia menonton rekaman video kehidupan sehari-hari Jessica. Avery menangis dan merasa tak sanggup menontonnya hingga akhir. Avery pun  sadar bahwa apa yang dilakukannya terhadap Jessica merupakan perlakuan yang jahat dan tak berdasar.

Dalam film ini, saya menangkap sebuah sudut padang yang memperlihatkan bahwa sosok Avery yang bossy, arogan, dan sering berbicara kasar adalah sifat dan sikap yang terbentuk tanpa sadar karena kehidupan sehari-hari di rumahnya. 

Ada empat orang yang tinggal di rumahnya, yaitu Ayah, Ibu, dan Kakak laki-lakinya. Sikap sang Ibu yang bossy, banyak bicara dan sangat mengatur nampak membentuk diri Avery. Dalam rumahnya yang hanya berisi empat orang itu, digambarkan pula sosok Ayahnya yang lemah menghadapi sang Ibu dan lebih sering diam. Sementara Kakak laki-lakinya pun bersikap persis seperti sang Ayah dan terkadang dengan terpaksa mendengarkan perkataan yang tidak menyenangkan dari Ibunya bahkan Avery sendiri, karena menelantarkan kuliahnya begitu saja.

Saya menyadari mengapa Avery menyangkal dengan keras apa yang dilakukannya tidak salah adalah karena (bisa saja sejak dini) secara tak sadar ia telah ditanamkan bagaimana seharusnya sosok seorang perempuan bersikap dengan bercermin dari Ibunya. Film ini sangat menunjukan sang Ibu yang begitu mengatur kehidupan Avery dan menjadi sosok dominan yang diktator dan cerewet. Atas sikap Ibunya yang diperparah sikap sang Ayah itu, secara tak langsung menunjukan bahwa sebenarnya pun Avery telah menjadi korban bully, dan dengan sendirinya membentuk mata rantai bullying dimana korban bully menjadi pembully yang menyebakan kembali adanya korban bully baru.

Dengan menonton film ini, saya merasa disadarkan atas beberapa poin, yakni:
1. Orang tua dan keluarga adalah pilar utama yang menentukan sifat dan sikap seorang anak.
2. Seorang anak yang melakukan kesalahan akan merasa tidak berbuat salah jika sepanjang hidupnya  diperlihatkan pada hal serupa yang nampak baik-baik saja dan tak ada yang menyadarkannya.
3. Pembully dapat  mengakui kesalahannya dan memperbaiki diri jika melalui pendekatan yang tepat dengan melihat latar belakang kehidupannya sebagai pertimbangan.
4. Orangtua yang tak menyadari kesalahannya, akan melahirkan anak yang juga tak menyadari kesalahannya.
5. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap psikologis dan pengembangan diri seseorang, baik sebagai korban bully yang menghadapi pembully, atau sebagai pembully yang berhak mendapatkan kesempatan memperbaiki diri.

Film ini recommended sekali untuk ditonton sebagai tontonan keluarga, tentunya dengan pendampingan dan arahan orang tua ya. :)


4 komentar:

  1. Aku belum punya netflix, tapi terimakasih banget reviewnya, lengkap... ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir ke blog saya.. Semoga review ini bermanfaat. :)

      Hapus
  2. aku nemu ini untuk tugas kuliah, lengkap bangett dan sangat membantuu hehe
    terima kasih <3

    BalasHapus
  3. Mudah-mudahan tugas kuliahnya dapat A ya. Hehehe.

    BalasHapus

Push Notification