Minggu, 30 Juli 2017

# Curhat

What We Choose And What We Let To Stay Are What We Becoming Next

Sebagai pegawai yang sejak awal proses rekruitment pun sudah diberi peringatan "Bersedia di tempatkan di seluruh Indonesia", maka persyaratan itu pun kemudian menjadi hal yang paling harus dipersiapkan. Jujur saja, saat saya masih lajang, saya sama sekali tak perduli mau ditempatkan dimana. Saya justru penasaran dan merasa berpetualang kalau sampai di tempatkan di Kalimantan, Sulawesi, mapun Papua.

Setelah dekat dengan suami (saat itu masih pacar) hal ini pula lah yang saya ungkapkan lebih dulu sebelum hubungan kami berjalan lebih serius. Alhamdulillah, saya dan suami sama-sama tak masalah. Saya pun sadar diri atas kodrat wanita yang memang lebih baik menurut dengan keputusan Imamnya. Syukurnya suami saya terbuka dan tak pernah memaksa, segala keputusan mengenai pekerjaan dan hal lainnya kita diskusikan dengan penuh pertimbangan, tanpa tekanan, dan yang pasti keputusan diambil dengan sadar juga legowo. Syukur saya juga semakin bertambah karena sampai dengan saat ini saya masih bisa bekerja dan tinggal bersama suami sementara banyak kawan di kantor yang harus hidup terpisah karena pekerjaan.

Saya dan suami merupakan salah satu yang percaya bahwa pilihan dimana kita tinggal akan sangat berpengaruh dengan kualitas hidup yang kita jalani. Dulu, dalam obrolan yang penuh mimpi, suami ingin sekali keluar Jakarta, karena bagi dia kota ini tak lagi cocok untuk dirinya. Saya pun merasa kan hal yang sama. Lantas kami sama-sama berkhayal kota mana yang paling nyaman bagi kami untuk kami tinggali. Yogyakarta dan Magelang merupakan dua kota yang masuk daftar kota ideal dan masuk dalam pertimbangan kami. 

Kenapa Yogya dan Magelang? Alasannya banyak dan memang sangat bergantung pada cara kita berpikir dan sudut pandang yang digunakan. Saya dan suami merasa kedua kota itu memenuhi beberapa kriteria yang kami cari. Budaya, kearifan lokal, kehidupan beragama, hiburan, kenyamanan, dan tingkat kesejahteraan.
Di Jakarta, kami tidak merasa kentalnya budaya. Yang kami rasakan serba modernitas. Bahkan budaya betawi yang katanya suku asli orang Jakarta pun seperti tersingkir sampai tidak lagi terasa. Di Yogya maupun Magelang, budaya Jawa masih terasa betul. Setiap hal yang terjadi di sana rasanya tidak lepas dari budaya yang mereka junjung. Dan hal itu membuat saya merasa tenang karena tidak akan banyak dan mudah dijumpai orang-orang yang bertindak semaunya di depan umum. Seperti misalnya mabuk, bicara lancang, berpakaian tidak sopan, dan bertindak kasar. Rasa hormat terhadap budaya nya sendiri secara tidak langsung telah membentuk norma-norma sosial di sana, sehingga secara psikologis, saya pikir itu akan mempengaruhi energi positif yang kita terima.

Kearifan lokal. Apa sih kearifan lokal? Kearifan lokal bisa dibilang sebagai segala bentuk kebijaksanaan yang timbul didasari atas nilai-nilai kebaikan yang dipercaya dan tidak terlepas dari budaya. Hal ini yang tentu saja mempengaruhi kebijakan pemerintah daerahnya dan juga mempengaruhi cara berpikir, sudut pandang, keputusan serta sikap-sikap yang diambil masyarakatnya.

Untuk kehidupan bergama, saya sendiri selama ini belum pernah mendengar pemberitaan yang tidak tidak atau merasakan energi kebencian antar umat berbeda agama di sana. Rukun, guyub, akur. Itu lah yang ada di benak saya. Dan bila bosan juga ingin berpetualang, hiburan dan wisata mudah ditemukan.

Selain itu, biaya hidup di dua kota tersebut juga saya rasakan lebih rendah dibanding di Jakarta maupun Depok. Dan hal ini tentu saja mempengaruhi tingkat keyamanan dan kesejahteraan hidup kami. Semakin murah semakin banyak yang di dapat, semakin banyak pula yang dihemat. Apalagi kalau suka berkebun dan berternak, rasanya menyenangkan kalau bisa menabung uang lebih banyak (tanpa mengurangi bayak keperluan) untuk rekreasi, ibadah, maupun kesejahteraan hari tua.

Ya itulah impian kami. Semoga kelak, saat usia kami sudah 35 tahun. Saat kami kembali membaca tulisan ini, tulisan ini tidak menjadi penyelesalan karena impian yang belum terwujud, tetapi menjadi kenangan yang kami syukuri karena telah berani bermimpi dan bertekad hingga akhirnya menyulutkan semangat untuk dapat diwujudkan sebelum terlambat. :)

2 komentar:

  1. Aamiin..Semoga terwujud impiannya ya Mbak. Btw, suami dan saya pun punya keinginan keluar dari Jakarta, tapi hingga usia 43-41, belum kesampaian juga :)

    BalasHapus
  2. Terimakasih sudah ikut mengamini. Terima kasih juga sudah mampir ke blog saya dan baca tulisan ini. :) Semoga harapan mbak dan suami juga segera terkabul ya. Aamiin.

    BalasHapus

Push Notification